Powered By Blogger

Selasa, 26 Agustus 2014

Cerita Kerinduan

Sudah 20 tahun usiaku, suatu perubahan benar-benar terlihat. Suasana yang sangat berbeda dan jarang aku temui masa sekarang dengan dulu. Suatu kerinduanku saat aku masih kecil dulu.
Saat sendiri, seringkali aku merasakan keheningan, kesunyian, tak ada keramaian. Aku selalu berpikir betapa ramainya suasana saat aku kecil. Dulu, di tanah kosong, anak-anak kecil berkumpul dan mereka bermain dengan senang hati. Bermain kelereng dan berusaha untuk menang agar punya kelereng yang banyak. Lalu ada permainan lompat tali, gobag sodor, petak umpet. Keceriaan dari polosnya anak-anak kecil terlihat.
Setelah pulang sekolah biasanya anak-anak perempuan bermain congkak, bola bekel, bermain boneka-bonekaan dari kertas. Aaaaahh sungguh asyik sekali permainan itu, sampai kami lupa waktu. Sampai orang tua kami marah, karena tak mau berhenti bermain karena terlalu asik bermain.
Lalu anak-anak lelaki lebih suka bermain di sungai. Saat cuaca panas, mereka menceburkan diri ke sungai dan berenang di sungai. Yah sama, saat orang tua mereka tahu pun mereka dimarahin oleh orang tuanya. Saat itu pun aku dan teman-temanku sering bersepeda, berkeliling kampung menemukan hal-hal baru. Walaupun panas matahari tidak menghalangi kami bersepeda.
Saat sore hari, aku dan teman-temanku pergi ke sawah. Kami membawa alat seperti ember dan jaring kecil untuk mencari keong sawah, di tempat kami namanya kraca. Kadang kami pun mencari belut di sawah. Keong dan belut itu kami bawa pulang, kami berikan pada orangtua. Kalau aku memberikannya pada embah atau nenek aku untuk dilah menjadi masakan yang tentunya enak dan bergizi. Tak hanya itu saat musim layangan pun, kami sering memilih bermain layangan di sawah. Sungguh itu sangat menyenangkan. Saat musim panen,  aku juga sering ikut embah ke sawah. Sambil menunggu embahku memanen padi, embah membuatkan ku gubug agar aku tidak kepanasan. Saat kecil aku dari pagi sampai sore aku dititipkan ke embah aku, karena orang tuaku harus bekerja.
Di samping rumahku dulu itu ada sebuah kebun, ada banyak tanaman. Salah satunya ada pohon jambu, aku menyebutnya jambu klutuk. Aku senang sekali memanjat pohon jambu itu, sampai embah aku sering memarahiku karena sikap aku seperti anak lelaki. Namun kebun itu sekarang sudah tidak ada, sekarang telah menjadi rumah.
Dulu pun, setiap sore aku dan teman-temanku meluangkan waktu datang ke masjid untuk mengaji. Kami mengaji setelah shalat ashar. Kami belajar banyak hal mengenai Islam, belajar membaca iqra dan al-qur'an. Setelah selesai mengaji, biasanya kami membeli jajanan yang ada di depan masjid, ada penjual bakso goreng tapi di tempat kami namanya basgor, ada telur gulung. Harga jajanan pun masih murah meriah, sekitar Rp 200,00.
Bukan hanya itu saja, perbedaan itu pun ada di perayaan hari kemerdekaan 17 agustus. Perayaan saat ini tidak semeriah perayaan dulu. Saat dulu, seminggu sebelum 17 agustus, warga sudah berbondong-bondong memasang bendera di pinggir jalan. Mengecat jalanan dengan garis-garis putih. Dulu pun disetiap gang rumah dibuat gapura yang unik dan sangat menarik. Remaja RT mempersiapkan perlombaan untuk warganya. Antusias warganya sangatlah besar untuk perayaan kemerdekaan itu. Tak kalah pula para penjual jajanan pun ikut meramaikan di perlombaan itu. Namun yang paling ditunggu-tunggu adalah lomba panjat pinang. Malam kemerdekaan diadakan acara syukuran RT, para ibu-ibu memasak makanan untuk acara tersebut. Di acara syukuran tersebut juga ada panggung, anak-anak perempuan menunjukkan kelihaiannya menari.
Selain itu, ada pula yang aku rindukan. Jajanan saat aku kecil yang jarang atau mungkin tidak aku temui saat ini. Hampir setiap pagi, embah aku mengajakku duduk di pinggir jalan untuk menunggu penjual getuk. Aku sangat menyukai makanan itu. Penjual itu menjual getuk, klepon, lopis, cenil. Di pinggir jalan dekat rumah aku juga ada penjual serabi, hemm rasanya enak sekali. Bukan hanya itu saja, saat di sekolah aku dan teman-temanku juga senang sekali membeli jajanan ada gulali, es gosrok, ada juga semacam es krim namanya es tung-tung, es lilin. Aaahh masih banyak sekali. Aku pun sering di ajak embah ke ladang, mengambil singkong. Setelah itu, singkongnya kami bawa pulang. Dulu di rumah embah masih menggunakan tungku, singkong itu kami bakar di bara api tungku itu.
Saat ini aku tak lagi merasakan bahkan tak melihat anak-anak seperti itu. Permainan mereka sekarang serba mahal, teknologi canggih. Anak kecil sudah disuguhi oleh gadget atau handphone mahal, permainan playstation. Makanan pun serba enak. Jarang sekali ditemukan makanan seperti jaman aku kecil. 
Apakah kerinduan itu dapat aku rasakan dan lihat kembali? Mungkin tidak akan aku rasakan lagi. Kehidupan ini semakin berkembang.

Purwokerto, 26 Agustus 2014

Selasa, 24 September 2013

Gerimis Rindu

Gerimis senja dengan wajah kecewa...
Langit kelabu dengan riuh pilu...
Gemuruh angin yang mencekam...

Menatap jendela pandangi setiap titik gerimis
Kian menderai penuh misteri...
Rinai gerimis jatuh perlahan disetiap sudut pandang...
Berjatuhan dengan sejuta pesona...

Pada gerimis hati menangis...
Menangis dengan rindu...
Pelupuk mata ingatkan nama...
Merangkai kata bayang wajah...

Gerimis sejukkan jiwa yang terbang...
Merasuk setiap sela kerinduan...
Basahi hati dengan cinta kasih...


Purwokerto, 24 September 2013
Nurul Apriliani

Rabu, 24 Juli 2013

Langkah Sahabat


Diatas pelangi kami menari...
Dibawah pagi kami berlari...
Menerobos kabut,,,, bergelut dengan angin...
Tiap tetes embun pada setiap ujung dedaunan merasuk jiwa...
Itulah sumber kekuatan kami...

Berjalan dikerumunan mentari...
Tiap sela jemari saling menggenggam...
Tiap lekuk jiwa menyiratkan inspirasi...
Bahu meringankan tiap beban...

Diujung senja...
Kami bagai angin dibawah kepakkan sayap...
Menopangnya menuju seimbang...

Kami rembulan...
Berikan cahaya kasih...
                                                               Temani tiap kegelapan...